Fenomena Frugal Living untuk Menentang PPN 12 Persen, Apa Itu?

Dari 11 persen menjadi 12 persen sejak 1 Januari 2024, meskipun ada banyak penolakan dari masyarakat dan kecaman dari para ekonom.

Jika bukan kali pertama, anak-anak muda Generation Z dan penganut K-Pop ramai turun ke jalan guna berdemonstrasi menyuarakan solidariti untuk menolak kenaikan PPN dengan mengemukakan alasan yang khas mereka sendiri, seperti STM takut harga tiket pertunjukan bakal membengkak.

Buruh juga seperti sebelumnya turun ke jalan guna mengekspresikan ketakutan mereka bahwa peningkatan gaji yang hanya 6,5 persen tidak cukup efektif menandingi inflasi.

Bukan hanya merupakan bentuk adaptasi, melainkan juga pernyataan sikap terhadap kebijakan fiskal yang dianggap membebankan.

“Palang hidup sendiri” sebenarnya bukanlah hal yang baru. Gaya hidup ini telah lama dikenal sebagai strategi individu untuk mengelola pengeluaran dan mencapai kestabilan finansial.

Namun, dalam konteks kenaikan Bea Perolehan Negara (PPN), praktek ini tampak lebih sebagai bentuk protes sosial-ekonomi.

Beberapa kalangan masyarakat yakni percaya bahwa peningkatan PPN secara langsung mengarahkan potongan kebutuhan mereka, mengurangi kemampuan daya tunda mereka, dan menciptakan tekanan lebih di tengah keadaan ekonomi yang belum sepenuhnya pulih dari pandemi.

Meskipun PPN merupakan sumber pendapatan negara yang signifikan, sekitar 40 persen dari total penerimaan pajak, kebijakan PPN ini memerlukan strategi komunikasi dan implementasi yang matang agar tidak menimbulkan kegelisahan sosial.

Indonesia, sebenarnya bukan satu-satunya negara yang menghadapi tantangan ini. Banyak negara lain juga mempraktikkan Pajak Penghasilan Negara (PPN) sebagai instrumen fiskal utama.

.

Meskipun lebih tinggi demi tingkat pengungsi, negara-negara tersebut manfaatkan kebijakan kompensasi seperti subsidi energi, pengurangan pajak pendapatan, atau program sosial yang difokuskan pada kelompok yang rentan agar dampak negatif diminimalkan.

Contohnya, Jerman, yang mempunyai tarif PPN sebesar 19% memberikan potongan pajak tambahan bagi keluarga berpenghasilan rendah ketika menaikkan PPN pada tahun 2007.

Langkah ini menunjukkan betapa pentingnya menggunakan pendekatan berbasis inklusi dalam pelaksanaan kebijakan pajak yang sensitif.


Tren global

Tapi, bagaimana posisi Indonesia dalam konteks ini? Dengan PPN 12 persen, Indonesia masih berada di bawah rata-rata global.

Tapi jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, biaya PPN di Indonesia terbilang cukup tinggi.

Aslinya, sejak pertama kali diberlakukan pada tahun 1983, tarif PPN di Indonesia hanya sebesar 10 persen dan tidak pernah berubah selama hampir 4 dekade lamanya.

Stabilitas ini berubah di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, ketika pemerintah meningkatkan tarif PPN menjadi 11% pada 1 April 2022. Di kemudian hari, kebijakan ini akan lanjutkan dengan rencana pencapaian tarif menjadi 12% pada tahun 2025.

Penyesuaian tarif PPN ini membuat Indonesia berada di urutan atas di Asia Tenggara. Menurut laporan pemutakhiran pajak dunia Worldwide Tax Summaries yang dikeluarkan oleh konsultan keuangan global PricewaterhouseCoopers (PwC), beberapa negara di kawasan ini menetapkan tarif PPN yang lebih rendah.

Sebagai contoh, Laos dan Kamboja menetapkan pajak nilai tambah sebesar 10 persen, sedangkan Singapura dan Thailand masing-masing menetapkan pajak sebesar 7 persen.

Sementara itu, negara lain seperti Brunei Darussalam bahkan tidak mengenakan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) pada transaksi domestik, dan Timor Leste hanya mengenakan tarif 2,5 persen untuk barang dan jasa impor.

Perlu diingatlah, ada juga negara-negara di wilayah ini yang menerapkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang hampir sama dengan Indonesia.

Filipina, misalnya, baru-baru ini telah menerapkan pajak brutto ekspor sebesar 12%, dan Vietnam menggunakan sistem dua tingkat dengan pajak ekspor 5% dan 10% tergantung jenis barang atau jasa.

Myanmar, di sisi lain, meluncurkan pajak awal sebesar 5% tetapi dapat meningkat hingga 100% untuk beberapa barang atau jasa tertentu.

Dalam konteks ini, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia mencerminkan tren global yang berusaha memperluas basis pajak untuk menopang anggaran negara.

Namun, struktur ekonomi Indonesia, di mana sektor informal dan kelompok berpendapatan rendah menjadi dominan, membuat kebijakan ini terasa lebih berat.

Dampaknya sebenarnya bahkan lebih tajam jika dibandingkan dengan negara maju yang memiliki sistem pelindungan sosial yang lebih kuat.


Perlu Lebih Transparan

Maka untuk merespons pula hal tersebut, Indonesia perlu mengambil langkah khusus untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Beberapa langkah yang dapat dilakukan di antaranya, Pemerintah harus meningkatkan transparansi segera terkait penggunaan hasil pajak. Salah satu alasan utama di balik reaksi keras terhadap kenaikan PPN adalah keraguan publik terhadap efektivitas alokasi dana negara.

Jika masyarakat dapat melihat bahwa kenaikan penghasilan negara sebenarnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, atau subsidi yang bermanfaat, tingkat kepercayaan publik terhadap keputusan ini akan lebih tinggi.

Contoh kesuksesan dari transparansi keuangan dapat dilihat di Finlandia, di mana masyarakat dapat secara terbuka memantau penggunaan anggaran negara, sehingga menciptakan kepercayaan yang kuat antara pemerintah dan warga.

Pemerintah juga harus memberikan insentif yang dapat mereduksi beban masyarakat secara langsung. Ini dapat berupa pengurangan pajak penghasilan bagi kelompok tertentu, subsidi langsung untuk kebutuhan dasar, atau program bantuan yang lebih efektif bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Di India, misalnya, ketika pemerintah menaikkan pajak efektif negatif barang konsumsi, mereka secara bersamaan memperkenalkan skema subsidi pangan bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, yang berkaitan dengan kemampuannya untuk menjaga daya beli masyarakat bersamaan meningkatkan konsumsi domestik.

Berikutnya, pemerintah harus meningkatkan literasi keuangan masyarakat. Gelombang frugal living yang semakin luas dapat dimanfaatkan sebagai momentum untuk memperkenalkan program pendidikan keuangan yang lebih komprehensif.

Dengan mencabut fokus pada penghematan ekstrem, masyarakat dapat diarahkan untuk mengelola keuangan dengan lebih bijaksana, seperti berinvestasi, merencanakan keuangan jangka panjang, atau memanfaatkan layanan keuangan digital.

Ini tidak hanya akan membantu individu menghadapi tekanan ekonomi, tetapi juga memperkuat stabilitas ekonomi secara keseluruhan.

Di sisi lain, masyarakat juga perlu memahami bahwa kenaikan Pajak Pendapatan Negara (PPN) adalah bagian dari upaya pemerintah untuk memperluas basis pengémpaan pajak dan mendukung pembangunan nasional.

Ya, kritik dan koreksi atas kebijakan ini menurut saya sangat penting, tetapi harus didasarkan pada pemahaman yang lebih komprehensif.

Misalnya, dengan basis pajak yang lebih besar, pemerintah memiliki peluang yang lebih besar untuk membiayai proyek-proyek yang mendukung kesejahteraan masyarakat, seperti pembangunan infrastruktur lingkungan hijau, pengembangan energi baru, dan peningkatan akses untuk pendidikan.


Kelebihan Gaya Hidup Hemat

Hal ini juga bisa dilihat dari sisi positif. Gaya hidup hemat dapat mendorong masyarakat untuk lebih selektif dalam konsumsi, mengurangi pengeluaran yang tidak perlu dan berkontribusi pada keberlanjutan lingkungan.

Tetapi jika dilakukan secara ekstrem, hal ini bisa memberikan dampak negatif pada ekonomi makro, terutama jika konsumsi domestik sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi mulai menurun. Oleh karena itu, pendekatan yang seimbang sangat diperlukan.

Sebagai langkah berikutnya, pemerintah dapat menggunakan data dan teknologi untuk memahami pola konsumsi masyarakat secara lebih mendalam. Hal ini akan memungkinkan untuk menemukan kebijakan pajak dan insentif yang dirancang secara lebih tepat sasaran.

Hal ini juga perlu ditingkatkan karena dialog yang lebih intensif antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat perlu terus didorong untuk menciptakan ekosistem yang saling mendukung dan bermakna.

Pada akhirnya, keberhasilan kebijakan fiskal juga tidak hanya bergantung pada angka-angka di neraca keuangan negara, tetapi juga pada kepercayaan yang terbangun antara pemerintah dan masyarakat.

Dengan menekankan transparansi, inklusivitas, dan pendekatan berbasis data, Indonesia memiliki kesempatan besar untuk mengelola tantangan ini secara konstruktif.

Mungkin mulai sebagai bentuk protes, tetapi dengan pendekatan yang tepat, fenomena ini bisa menjadi pemicu perubahan positif dalam pengelolaan ekonomi nasional.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *