Masalah dalam Pengadaan Smart TV untuk Sekolah-sekololah
Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan berbagai masalah terkait pengadaan televisi interaktif flat panel (IFP) atau smart TV untuk sekolah-sekolah. Program ini dijalankan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Menurut Koordinator Divisi Edukasi Publik ICW, Nisa Zonzoa, pengadaan IFP bukanlah program yang mendesak. Hingga saat ini, ICW belum melihat manfaat dari program tersebut bagi perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia.
Nisa mengkritik langkah Presiden Prabowo Subianto yang menyebut pengadaan smart TV bertujuan untuk pemerataan pendidikan melalui digitalisasi pembelajaran, terutama di daerah terpencil yang memiliki keterbatasan guru. “Jawabannya jelas bukan melalui pengadaan Smart TV,” ujar Nisa dalam keterangan tertulis.
Menurut Nisa, krisis kompetensi guru adalah persoalan struktural yang hanya bisa diatasi melalui peningkatan kualitas pendidikan guru, pelatihan berkelanjutan, serta distribusi tenaga pendidik yang merata. Sementara itu, smart TV hanyalah perangkat keras. Sekolah tetap membutuhkan guru yang mampu mengelola pembelajaran. Tanpa tambahan guru yang kompeten, perangkat tersebut tidak memberi nilai tambah.
“ICW menilai pendekatan ini tidak tepat karena tidak menyentuh akar persoalan yang ada dalam pendidikan Indonesia. Bahkan, sangat berisiko menimbulkan pemborosan dan membuka celah korupsi baru,” ucap Nisa.
Proses Pengadaan yang Tidak Transparan
ICW juga mengkritik proses pengadaan televisi di Kemendikdasmen yang tidak transparan. Proses itu berlangsung dengan mekanisme penunjukkan langsung, bukan tender. “Metode pengadaan barang secara tertutup tanpa tender sangat rentan diselewengkan,” kata Nisa.
Nisa berujar bahwa program pengadaan smart TV lebih berorientasi proyek daripada perbaikan kualitas pendidikan. “Maka ICW mendesak pemerintah untuk segera menghentikan dan mengevaluasi pengadaan Smart TV untuk seluruh tingkat sekolah karena rentan praktik korupsi dan bukan solusi atas persoalan pendidikan di Indonesia,” ujar dia.
Anggaran Digitalisasi Pembelajaran
Wakil Ketua Komisi X DPR, Lalu Hadrian Irfani, mengungkapkan anggaran yang disetujui untuk program khusus digitalisasi pembelajaran sebanyak Rp 2 triliun. Anggaran itu sudah mencakup distribusi interactive flat panel (IFP) atau papan digital interaktif. “Setahu kami, digitalisasi pembelajaran itu anggarannya Rp 2 triliun tahun 2025. Itu dalam bentuk instruksi presiden,” kata Lalu saat ditemui usai rapat kerja bersama Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Selatan, Senin, 15 September 2025.
Lalu menjelaskan bahwa sebelumnya Kemendikdasmen telah berdiskusi dengan Komisi X sebagai mitra kerja mereka soal distribusi IFP tersebut. Program itu, kata dia, merupakan mandat program langsung dari kepala negara untuk penyesuaian terhadap kemajuan dan perkembangan teknologi di dunia pendidikan.
Dasar Hukum dan Manfaat IFP
Kemendikdasmen menjelaskan dasar hukum program IFP tercantum dalam Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2025 tentang revitalisasi satuan pendidikan. Instruksi itu menekankan pembangunan sekolah unggul sekaligus implementasi digitalisasi pembelajaran.
“Digitalisasi pembelajaran menjadi upaya percepatan agar anak-anak Indonesia mengejar ketertinggalan sekaligus terbiasa dengan keterampilan abad 21,” kata Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar dan Menengah Gogot Suharwoto dalam program SINIAR eps. 12 di kanal YouTube Kemendikdasmen dikutip pada Senin, 15 September 2025.
Gogot mengatakan IFP berbeda dengan televisi pintar yang hanya menyajikan informasi satu arah. Papan interaktif pintar memungkinkan guru dan murid berinteraksi langsung lewat layar sentuh. Konten bisa berupa teks, video, audio, gamifikasi, bahkan augmented reality.
Dinda Shabrina berkontribusi dalam penulisan artikel ini.