Keterlibatan Saudi dalam Twitter: Dari Investasi hingga Pengaruh Politik
Di balik citra Elon Musk sebagai pembela kebebasan berekspresi, tersembunyi jaringan kekuasaan dan modal asing yang telah lama memengaruhi arah kebijakan Twitter. Sejak diakuisisi oleh Musk pada Oktober 2022 dengan nilai sekitar 44 miliar dolar AS, platform ini kini dikenal sebagai X. Namun, di balik perubahan nama dan visi Musk, ada sejarah panjang keterlibatan Arab Saudi yang tidak bisa diabaikan.
Investigasi The Guardian berjudul “Money Talks: The Deep Ties Between Twitter and Saudi Arabia” mengungkap bagaimana Kerajaan Arab Saudi tidak hanya menjadi investor utama, tetapi juga memanfaatkan platform tersebut sebagai alat politik untuk memperluas pengaruhnya di ranah digital global. Pemerintah Saudi memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Twitter, bahkan sampai menembus struktur internal perusahaan.
Sejak awal, keterlibatan Saudi di Twitter bersifat strategis. Salah satu pemegang saham terbesar adalah Pangeran Alwaleed bin Talal melalui Kingdom Holding Company, dengan porsi sekitar 5,2 persen. Namun, pada 2017, Alwaleed ditahan dalam operasi “pemberantasan korupsi” yang dipimpin Putra Mahkota Mohammed bin Salman. Penahanan itu menjadi titik pergeseran kontrol saham menuju orbit kekuasaan baru di Riyadh, memperkuat posisi politik kerajaan dalam kepemilikan Twitter.
Keterlibatan Saudi tidak hanya terbatas pada kepemilikan saham. Laporan The Guardian menyebut bahwa pemerintah Saudi berhasil menyusupkan pegawai di dalam Twitter untuk memperoleh data pribadi pengguna yang dianggap mengkritik rezim. Dua mantan pegawai, Ahmad Abouammo dan Ali Alzabarah, didakwa menyalurkan informasi sensitif seperti alamat surat elektronik, nomor telepon, dan lokasi pengguna kepada pejabat Saudi. Tindakan ini membuktikan bahwa platform digital dapat digunakan sebagai alat pengawasan lintas negara.
Ali al-Ahmed, analis kebijakan asal Saudi yang akun Twitter-nya diblokir, mengatakan bahwa perusahaan teknologi besar sering kali mengabaikan hak asasi manusia demi kepentingan finansial. Ia menilai bahwa Twitter dan Facebook bukanlah platform teladan kebebasan, tetapi lebih memilih uang daripada prinsip. Pandangan ini mencerminkan ketegangan antara idealisme kebebasan berekspresi dan realitas ekonomi global yang mengikat platform tersebut.
Dalam praktiknya, Twitter telah berubah dari ruang diskusi publik menjadi alat kontrol sosial. Akun anonim yang dianggap aman ternyata mudah dilacak identitasnya, dan sejumlah pengguna dilaporkan ditangkap setelah aktivitas daring mereka terungkap. Bagi banyak pengamat, fenomena ini menunjukkan bahwa kendali atas informasi kini menjadi bentuk kekuasaan baru di era digital.
Elon Musk tidak hanya membeli sebuah perusahaan teknologi saat mengakuisisi Twitter. Ia juga mewarisi jalinan kepemilikan rumit yang melibatkan modal, kepentingan politik, dan pengaruh Saudi. Meskipun awalnya menolak tawaran Musk, Pangeran Alwaleed justru menjadi pendukung utama setelah akuisisi dan mengintegrasikan sahamnya ke dalam struktur kepemilikan baru.
Langkah tersebut menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana Musk dapat menjaga independensi Twitter dari pengaruh luar. Meski ia menyebut dirinya sebagai “penganut kebebasan berbicara absolut”, Musk tampak enggan mengkritik pelanggaran kebebasan berekspresi di Saudi atau penggunaan platformnya untuk menekan suara oposisi. Sikap diam ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kebebasan yang dijanjikan justru berubah menjadi kebebasan semu.
The Guardian menyoroti bahwa sejak akuisisi Musk, Twitter—yang kini berganti nama menjadi X—semakin jauh dari perannya sebagai ruang demokrasi digital. Platform itu kini dipandang sebagai medan tarik-menarik antara modal Silicon Valley dan kekuatan politik Teluk. Bagi banyak pengamat, kondisi ini mencerminkan bagaimana teknologi modern tidak lagi netral, melainkan menjadi alat negosiasi antara kapital dan kekuasaan.
Dalam lanskap global yang kian terpolarisasi, dinamika Twitter menunjukkan bahwa kebebasan digital bergantung pada siapa yang menguasai infrastrukturnya. Di bawah bayang-bayang Saudi, platform tersebut berisiko menjadi bagian dari strategi politik global yang melampaui batas negara. Elon Musk kini menapaki batas tipis antara idealisme kebebasan dan kepentingan geopolitik yang rumit.
Kasus ini memperlihatkan bahwa di era digital, kekuasaan tidak hanya diukur dari kemampuan memproduksi teknologi, tetapi juga dari kemampuan mengendalikan informasi. Twitter, yang pernah menjadi simbol demokrasi daring, kini berubah menjadi cermin betapa rapuhnya kebebasan berbicara ketika uang dan kuasa bersatu dalam satu genggaman.