Kholid, nelayan yang mengungkap adanya korporasi di balik pagar laut sepanjang 30,16 km di Tangerang harus menerima konsekuensi dari keberaniannya.
Kholid mengaku sering menerima intimidasi dari pihak-pihak yang tidak jelas identitasnya.
“Saya mengira dia sudah memahami tinggal apa yang harus diurus setelah itu dia mengatakan begitu aja, kita gak usah skeptis menurut orang berusia dewasa,” demikian kata Kholid seperti dikutip dari tayangan Fakta pada Senin (20/1/2025).
Kholid juga kerap menerima ancaman bukan hanya melalui pesan langsung, tapi juga lewat ponsel.
“Iya pasti ada orang menelepon kamu, hening dulu,” kata nelaya asal Desa Krojo, Tangerang ini.
Kholid menceritakan kejadian ketika dia menerima panggilan telepon dari seseorang yang tidak dia kenal.
Tanya, dengan siapakah, (pertanyaannya) tidak perlu diketahui. Ya sudah saya mau bilang, kamu tidak perlu bicara macam-macam tentang ruangan pantai biasa, masalah apa-apa untuk penghalang pantai, tanah, dan sebagainya. Kamu bisa berbahaya kamu, kasihanlah anak suamimu.
Dia tidak menampakkan kebenaran. Ketika dia kembali menelpon, tidak ada sambungan.(1) (alternatif) Dia tidak muncul. (kemungkinan saya salah)
Kholid mengaku pagar laut itu sudah diketahui dia dan para nelayan semenjak lama, namun saat itu belum dikategori dengan rapi.
Dia pernah juga membicarakan dengan pekerja yang diminta untuk memasang pagar dari bambu tersebut.
Pengaju hak ini mengaku di arah oleh sebuah korporasi yang cukup terkemuka di Jakarta.
Dia menerima gaji seorang pekerja sebesar Rp 100.000 setiap hari.
“Kalau dibilang pagar itu begitu rumit, menurut saya sangatlah lucu. Tidak ada yang misterius tentangnya,” ujarnya.
Kholid menyangkal pagar laut tersebut dibuat oleh nelayan untuk diseimbangi dengan abrasi.
Menurutnya, alasan itu tidak masuk akal karena membutuhkan dana miliaran rupiah hingga membuat pagar laut sepanjang 30,16 km.
“Jika misalnya itu dilakukan sendiri oleh masyarakat. Hampir 5 juta bambu. Kalau diukur 10 juta, berapa juta itu. Tidak masuk, kalau dilakukan nelayan,” katanya berkata.
Menurut Kholid, negara seharusnya langsung muncul dengan fakta-fakta ini.
Apa lagi, pihak berkepentingan juga menyampaikan laporan ini kepada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi, mereka mengaku sudah mengetahui dan sudah memprioritaskan masalah ini.
Tetapi baru-baru ini saja hal ini menarik perhatian banyak orang dan diambil tindak lanjut.
“Itikad orang kayak kalau negara sudah diserobot oleh korporasi. Saya sangat takut. Begitu sudah jelas Saya ini adalah pelanggaran, seharusnya sudah terbuka. Nelayan terlalu sedikit salah di laut, sudah ditangkap.
“Pak, ini ada kaitannya dengan pemodal besar, kok takut mengancam,” kata seseorang. “Cari apa lagi? Sudah jelas melanggar, tangkap, cabut,” ia tegas.
Dikatakan Kholid, dia sangat marah dan emosional karena tidak ingin dikelola oleh korporasi-korporasi.
“Kalau dibawah kontrol korporasi sampai akhir zaman kita akan terus miskin. Modelnya begini nih, bikin orang miskin,” katanya.
Kholid bahkan sudah siap untuk memimpin masyarakat Banten untuk melawan korporasi tersebut.
“Jika negara tidak berani menanggapai korporasi, saya yang akan melawan, saya akan memimpin masyarakat Banten untuk melawan korporasi itu,” serunya.
Diduga Memiliki SHGB
Tetapi di bagian lain, Ketua Forum Kebangsaan Provinsi Banten, Laksamana Pertama TNI (Purn) Dr. Sony Santoso, menyoroti tentang kisruh pagar laut di pesisir Tangerang.
Dia meminta para pejabat pemerintah yang berkuasa sebelumnya, termasuk seorang presidennya, untuk bertanggung jawab atas masalah yang dialami karena situasi politik yang semakin bergejolak.
Kita bertanya-tanya, bagaimana pagar laut dekat pantai Tangerang bisa memiliki Hak Guna Bangunan (HGB). Hal ini sangat mengkhawatirkan karena garis pantai adalah bagian strategis yang seharusnya dilindungi untuk kepentingan umum dan lingkungan hidup. Pejabat yang pernah menjabat sebelumnya harus bertanggung jawab atas keributan ini,” kata Sony Santoso dalam keterangan, Senin (20/1/2025).
Menurutnya, permasalahan ini menunjukkan adanya kelemahan dalam pengelolaan wilayah kekuasaan negara yang seharusnya harus dilaksanakan dengan baik.
“Saya meminta klarifikasi dan pertanggungjawaban dari pejabat yang berwenang pada saat itu. Ini tidak hanya masalah administratif, tetapi juga tentang kepentingan masyarakat dan keutuhan negara,” katanya.
Sony mengatakan, adanya pagar laut dengan HGB ini merupakan contoh buruk dalam pengelolaan pesisir tersebut.
Dia bertanya-tanya proses izin yang dilakukan hingga akhirnya aset strategis itu dikaitkan dengan kepemilikan oleh pihak tertentu.
“Apa proses ini telah dilaksanakan sesuai peraturan ataukah ada perbuatan kelalaian? Pejabat yang berwenang pada saat itu harus menjelaskan kepada publik apa yang terjadi,” ujarnya.
Dia menilai bahwa kasus ini sebagai pelajaran berharga agar hal serupa tidak terulang di masa depan, pelakunya siapapun itu, termasuk Presiden atau setiap pejabat tinggi, harus bertanggung jawab.
“Kami sangat berharap pemerintah saat ini mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan masalah ini. Jika ditemukan pelanggaran hukum, maka pelakunya harus diproses sesuai aturan yang berlaku, siapapun mereka,” kata Sony.
Lebih lanjut, Sony meminta agar semua komponen masyarakat bersama-sama mengawalquisitions tersebut.
Partisipasi masyarakat dalam pengawasan wilayah strategis dan kedaulatan negara sangat penting. Kita sebagai rakyat jangan diam, karena jangan sampai wilayah strategis kita dikuasai oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,” katanya.
Sementara itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional atau ATR/BPN Nusron Wahid menyatakan bahwa pihaknya sedang melakukan investigasi pagar laut di Kabupaten Tangerang, Banten.
Menteri Nusron menjelaskan dia telah mengutus Dirjen Survei dan Pemetaan Pertanahan dan Ruang (SPPR) Virgo untuk menerangkan kabar pagar laut tersebut telah diberi sertifikat.
“Menteri ATR/BPN telah mengutus Dirjen SPPR Pak Virgo untuk berkoordinasi dengan Badan Informasi Geospasial (BIG) mengenai garis pantai wilayah Desa Kohod,” ujar Menteri Nusron kepada media di Jakarta, Senin (20/1/2025).
Langkah tersebut, seperti dikatakan Nusron, bertujuan untuk memastikan apakah bidang-bidang tanah tersebut berada di dalam atau di luar garis pantai.
Baca juga: Menteri ATR Unjuk Daftar Pemilik Sertifikat Hug in Sekitar Garis Pantai Tangerang
“Data dokumen permohonan sertifikat yang diterbitkan sejak tahun 1982 akan dibandingkan dengan data garis pantai terbaru hingga tahun 2024,” tukasnya.
Meskipun begitu, Menteri Nusron telah melakukan penelitian awal bahwa pada lokasi tersebut telah diterbitkan sebanyak 263 bidang, yang terdiri dari 234 bidang sertifikat hak guna bangunan (SHGB).
Sertifikat tersebut untuk PT Intan Agung Makmur, 20 bidang SHGB untuk PT Cahaya Inti Sentosa, dan 9 bidang untuk individu. Selain itu, ditemukan juga 17 bidang sertipikat hak milik di kawasan tersebut.
Ia menegaskan hal ini: sertipikat yang telah terbit namun terbéla di luar garis pantai, akan dievaluasi dan dinilai ulang.
“Bila terdeteksi cacat bahan, cacat prosedur, atau cacat hukum, menurut PP (Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2021), sertifikat itu dapat dibatalkan tanpa harus melalui proses peradilan, hanya tentu sertifikasi tersebut belum mencapai lima tahun,” ungkapnya.
Pintu Utama Pertahanan Pantai di Tangerang Dirugikan Bencana Alam, Masyarakat diharapkan Mendengarkan Pastikan Penerawangan
===
Klik di sini untuk bergabung