Inilah Nama Tokoh Perang Sisingamangaraja Sumatera Utara yang Legendaris


Ia adalah Sisingamangaraja XII, tokoh utama Perang Sisingamangaraja di Sumatera Utara, juga dikenal sebagai Perang Batak. Dengan dihormati oleh tentara Belanda.


Tergantunglah, lihat ini: Berita terbaru kami hadir di WhatsApp Channel, ikuti kami dan dapatkan berita terbaru di sini

Perang Sisingamangaraja atau Perang Batak adalah perkelahian rakyat Sumatera Utara, khususnya rakyat Tapanuli, melawannya pemerintahan kolonial Hindia Belanda pada tahun 1878 sampai 1907.

Nama pahlawan Perang Sisingamangaraja di Sumatra Utara ini tentu tidak asing lagi. Dialah Sisingamangaraja XII yang legendaris itu.

Latar belakang peperangan ini adalah karena agama Batak kuno yang dianut oleh masyarakat diancam oleh hadirnya agama Kristen. Sisingamangaraja XII sebagai raja Batak menolak prinsip misionaris Belanda untuk mewujudkan penyebaran agama Kristen di wilayah Batak pada masa itu.

Dia melakukan itu karena Sisingamangaraja takut kepercayaan dan tradisi yang selalu dimiliki oleh masyarakat Batak akan lenyap karena berkembangnya agama Kristen.

(pada tahun 1877, sebuah organisasi penyebar agama Kristen) yang memaksakan agama Kristen kepada rakyat Batak.

Sebagai respons atas pengusiran oleh Sisingamangaraja itu, para misionaris meminta perlindungan dari Pemerintah Kolonial Belanda. Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda tiba di Pearaja (pedalaman Sumatra Utara) dan bergabung dengan kaum misionaris Belanda.

Kedatangan pasukan Belanda di wilayah Batak telah menimbulkan istilah provokasi atas Sisingamangaraja sehingga ia mengumumkan perang pada 16 Februari 1878 dengan melakukan serangan ke pos-pos Belanda di Bahal Batu.

(1984) karya Marwati Djoened Poesponegoro dkk, pasukan Sisingamangaraja bergabung dengan pejuang Aceh pada Desember 1878 untuk melakukan perlawanan bersama terhadap Belanda.

Aliansi Sisingamangaraja dan Aceh bisa menduduki wilayah pedalaman Sumatera Utara, namun saat memasuki wilayah kota, pasukan ini dapat dipukul mundur oleh Belanda. Perang Batak antara pasukan Sisingamangaraja dan Belanda berjalan seimbang selama tahun-tahun 1880-an.

Serangan Sisingamangaraja pada Agustus 1889 dapat menempati wilayah Lobu Talu dan membunuh beberapa tentara Belanda. Namun pendudukan Lobu Talu tidak berlangsung lama karena Belanda kembali mendatangkan bantuan dari Padang untuk merebut kembali Lobu Talu dari tangan Sisingamangaraja.

Perlawanan Sisingamangaraja dalam Perang Batak mulai meredup setelah saat wilayah Huta Paong ditaklukan oleh Belanda pada bulan September 1889. Setelah daerah Huta Paong ditaklukan, Belanda teruslah menjajah Sisingamangaraja dan pasukannya, sehingga pecahlah pertempuran di daerah Tamba.

Pada pertempuran tersebut pasukan Batak menderita kekalahan dan melarikan diri ke daerah Horion. Belanda berlanjut mengejar dan melacak arah pelarian Sisingamangaraja dan pasukannya.

Bahkan, pihak Belanda membawa orang-orang dari Senegal untuk membantu mencari Sisingamangaraja XII. Tahun 1907, Belanda berhasil memeberi jaring kepada Sisingamangaraja XII di daerah Dairi, namun ia enggan menyerahkan diri.

Sisingamangaraja beserta pasukannya berjuang hingga hingga kehabisan tenaga darah dan meninggal akibat pengepungan tersebut.


Kisah Sisingamangaraja XII dalam Perang Batak

Pada masa Perang Batak melawan Belanda, Sisingamangaraja XII menerapkan siasat perang gerilya. Ia menggunakan siasat ini selama hampir tiga dekade lamanya.

Meskipun pada akhirnya perang ini berhasil diputuskan dan Sisingamangaraja meninggal, strategi perang bergerilya yang dia tetapkan berhasil mengganggu pengendalian Belanda di wilayah tersebut dan menjadikannya pahlawan nasional.

Sebagaimana disinggung awalnya, puncak Perang Batak terjadi tahun 1878 ketika Raja Sisingamangaraja XII memimpin pasukan Batak dalam serangan besar-besaran terhadap pos-pos militer Belanda di Tarutung dan Sipoholon.

Ada beberapa strategi yang diterapkan oleh Sisingamangaraja XII dalam Pertempuran Batak melawan Belanda. Salah satu taktik utama yang diterapkannya adalah taktik gerilya.

Dengan strategi ini, pasukan Sisingamangaraja XII menghindari pertempuran terbuka dan menggunakan kelebihan medan hutan dan pegunungan yang sulit di wilayah Sumatera Utara. Pasukan Sisingamangaraja XII juga sering menjalankan serangan tiba-tiba, memanfaatkan pengetahuan mendalam tentang medan, serta menghindari pasukan Belanda dengan cara yang cerdik ini.

Sisingamangaraja XII dan pasukannya juga mengandalkan senjata-senjata tradisional seperti tombak, busur, parang, dan sumpit yang kadang-kadang diolesi racun, sehingga menjadikan mereka sangat terampil dalam pertempuran jarak dekat.

Cara lainnya adalah dengan memanfaatkan dukungan dari suku-suku lain di Sumatera Utara, yaitu Mandailing dan Aceh, yang mendukung dengan bantuan militer dan sumber daya. Dengan demikian, perlawanan masyarakat Tapanuli ini bertahan terus.

Tak lupa Sisingamangaraja XII juga berusaha untuk mendapatkan bantuan dari luar, termasuk meminta dukungan dari pihak Aceh untuk meningkatkan kemampuan perang mereka.

Meskipun strategi perang Batak menggunakan senjata tradisional dan taktik gerilya cukup mengganggu bagi Belanda, penjajah juga menggabungkan taktik yang efektif untuk mencapai kemenangan atas Raja Sisingamangaraja XII.

Pada Agustus 1889, Sisingamangaraja melancarkan serangan yang berhasil merebut wilayah Lobu Talu dan menyebabkan beberapa prajurit Belanda terbunuh. Namun, pengambilalihan wilayah ini tidak bertahan lama karena Belanda segera mengirimkan pasukan bantuan dari Sumatra Barat.

Hal ini menyebabkan Belanda berhasil mengambil kembali wilayah Lobu Talu dari bawah kekuasaan Sisingamangaraja XII.

Perlawanan Sisingamangaraja dalam Perang Batak mulai melemah setelah Belanda berhasil menduduki wilayah Huta Paung pada bulan September 1889. Setelah menduduki wilayah itu, Belanda dengan gencangnya mengejar Sisingamangaraja dan pasukannya.

Akhirnya karena semakin terdesak, Sisingamangaraja meminta bantuan dari Aceh untuk memperkuat kekuatan perang mereka. Dengan dukungan pasukan dari Aceh, Sisingamangaraja dan pasukannya melanjutkan perlawanan di wilayah Tapanuli dengan menyerang kota lama.

Sayangnya, serangan tersebut gagal mencapai hasil yang diharapkan karena pasukan Belanda di bawah komando J. A. Visser, berhasil menguasai perlawanan rakyat Tapanuli. Tidak hanya itu, pada 1904, pasukan Belanda di bawah pimpinan Van Daalen dari Aceh Tengah melanjutkan gerakan ke Tapanuli Utara, sedangkan pasukan tambahan dikerahkan ke Medan.

Pada tahun 1907, pasukan Marsose yang dipimpin Kapten Hans Christoffel berhasil menangkap Boru Sagala, istri Sisingamangaraja, beserta kedua anaknya. Sementara itu, Sisingamangaraja XII dan pengikutnya berhasil melarikan diri ke hutan Simsim.

Pihak Belanda yang merasa sudah menang mulai mencari Sisingamangaraja XII dengan gembira. Mereka ingin memaksa Sisingamangaraja XII beserta pasukannya untuk menyerah.

Tetapi Sisingamangaraja XII menolak tawaran untuk menyerah. Pada tanggal 17 Juni 1907, Sisingamangaraja XII ditemukan tewas bersama putrinya Lopian dan dua putranya, Sutan Nagari dan Patuan Anggi.

Gelombang kematiannya menandai akhir Perang Batak dan menjadi kemenangan bagi pihak Belanda yang saat itu dipimpin oleh Kapten Christoffel.


Sosok Sisingamangaraja XII

Raja Ompu Pulo Batu disebut Besar Patuan, akan tetapi kita lebih mengenalnya sebagai Sisingamangaradja XII. Dia adalah raja serta pendeta terakhir masyarakat Batak di Sumatera Utara.

Sisingamangaraja XII lahir di Bakkara, Tapanuli, pada tahun 1849. Dia adalah pewaris dari ayahnya, Sisingamangaraja XI, yang meninggal pada tahun 1876. Gelar Si Sisingamangaradja sendiri digunakan oleh dinasti keluarga Marga Sinambela, yang berarti “Raja Singa Agung”.

Sisimangaradja XII adalah tokoh yang terakhir kali menjadi pemimpin agama Parmalim dan dianggap sebagai raja dewa dan peninggalan Batara Guru, Dewa Siwa versi Jawa.

Sisingamangaradja sendiri dipercaya memiliki kekuatan-kekuatan seperti kemampuan mengusir roh jahat, mengeluarkan hujan, dan mengendalikan penanaman padi.

Awalnya, Sisingamangaradja XII tidak dianggap sebagai tokoh politik. Tetapi, ketika penjajah Belanda tiba di Sumatera Utara sejak 1850-an, dia bersama Sisingamangaradja XI mulai fokus melakukan perlawanan.

Sisingamangaraja XII meninggal sebagai Pahlawan Nasional di peperangan di Dairi bersama putrinya Lopian, dan kedua putranya, Patuan Nagari dan Patuan Anggi. Dia disergap oleh sekelompok anggota dari pasukan elit Belanda, Korps Marsose.

Sisingamangaraja XII berhadapan dengan pasukan Marsose sambil memegang pedang Piso Gaja Dompak. Kopral Souhoka, seorang prajurit Belanda dan penembak ganas, mengarahkan pelurunya ke kepala Sisingamangaraja XII tepat di bawah telinganya.

Ia dimakamkan secara militer oleh Belanda pada tanggal 22 Juni 1907 di Silindung. Kuburnya kemudian dipindahkan ke Makam Pahlawan Nasional di Soposurung, Balige, pada tanggal 14 Juni 1953 yang didirikan oleh pemerintah.

Berdasarkan Surat Kepres No. 590, pada tanggal 19 November 1961, Sisingamangaradja XII ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Selain itu, nama Sisingamangaradja juga diabadikan sebagai nama jalan di seluruh daerah Republik Indonesia.

Itulah Sisingamangaraja XII, nama tokoh Perang Sisingamangaraja di Sumatera Utara yang juga dikenal sebagai Perang Batak. Semoga bermanfaat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *