Perkembangan Cyberlaw di Indonesia dan Relevansi UU ITE 2024
Buku berjudul Revolusi Cyberlaw Indonesia karya Dr Danrivanto Budhijanto, SH, LL.M memberikan wawasan mendalam tentang transformasi hukum di era digital. Diterbitkan oleh PT Refika Aditama pada Januari 2025, buku ini terdiri dari 210 halaman dengan ISBN 978 623 8423 880. Buku ini hadir sebagai jawaban atas tantangan yang muncul akibat perkembangan teknologi, khususnya tren kecerdasan buatan (AI). Penulis menegaskan bahwa perubahan teknologi tidak hanya berkaitan dengan perangkat keras, tetapi juga memerlukan sistem hukum yang adaptif terhadap risiko baru.
Dalam prakata, penulis menyampaikan bahwa cyberlaw telah menjadi disiplin hukum yang relevan dalam konteks Masyarakat 5.0. Mengutip pendapat Gregory N. Mandel dan Pavan Duggal, ia menekankan pentingnya regulasi hukum untuk menghadapi dinamika teknologi. Buku ini dirancang untuk membantu pembaca memahami evolusi hukum di dunia siber serta tantangan yang dihadapi.
Struktur Bab-Bab dalam Buku
Buku ini tersusun dalam lima bab besar. Bab pertama fokus pada Revolusi Cyberlaw Indonesia: Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik 2016. Di sini, penulis mengulas perjalanan UU ITE sejak tahun 2008 hingga revisi 2016. Ia menjelaskan problematika awal seperti delik penghinaan dan kebebasan berpendapat, serta respons Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi.
Bab kedua membahas urgensi revisi pertama UU ITE 2008. Penulis menjelaskan latar belakang pemikiran revisi, tujuan pembaruan, serta metode penyusunan naskah akademik. Ia menunjukkan bahwa kebutuhan revisi lahir dari praktik hukum yang sering multitafsir, sehingga perlu adanya penjelasan lebih jelas tentang tindak pidana dan prosedur beracara.
Bab ketiga menyoroti pilar-pilar norma cyberlaw dalam revisi UU ITE 2016. Penulis mengupas kronologi revisi serta batasan yurisdiksi hukum di ranah digital. Ia menekankan bahwa dunia siber tidak memiliki batas teritorial, sehingga hukum nasional harus menyesuaikan diri dengan ruang virtual.
Bab keempat membahas revisi kedua UU ITE 2024. Penulis menjelaskan aspek historikal, tujuan normatif, serta perumusan asas-asas baru. Ia juga menelaah perubahan norma yang berkaitan dengan perlindungan data, kewenangan aparat penegak hukum, dan ancaman pidana di dunia maya. Revisi ini tidak hanya memperbarui, tetapi juga memperluas ruang lingkup pengaturan agar lebih sesuai dengan era digital saat ini.
Bab kelima menjadi bagian paling mutakhir dengan tema Hukum dan Pelindungan Kecerdasan Artifisial. Di sini, penulis membedah peran hukum dalam pemanfaatan AI, mulai dari fungsi, perlindungan hukum, tanggung jawab, hingga asas perlindungan data digital. Bab ini menutup dengan refleksi tentang posisi Indonesia dalam mengatur AI, menekankan bahwa tanpa regulasi yang kuat, teknologi justru bisa menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan.
Regulasi Teknologi dan Keseimbangan Hak Asasi Manusia
Legislasi teknologi yang dibahas penulis menyoroti pentingnya keseimbangan antara kebebasan berpendapat dengan perlindungan hak asasi manusia. Pasal-pasal UU ITE yang sering diuji di Mahkamah Konstitusi menjadi bukti bahwa regulasi ini belum sepenuhnya menjawab kebutuhan masyarakat digital. Namun, revisi yang dilakukan tahun 2024 memberi harapan pada konsistensi norma hukum, khususnya dalam isu penyadapan, pengelolaan data pribadi, dan pengakuan alat bukti elektronik.
Buku ini juga membedah kaitan antara perkembangan AI dengan urgensi regulasi baru. AI bukan hanya menghadirkan peluang, tetapi juga risiko seperti diskriminasi algoritmik, penyalahgunaan data, dan dilema tanggung jawab hukum. Penulis menegaskan bahwa hukum harus aktif merespons perkembangan teknologi yang sangat cepat, karena AI mampu mengambil keputusan signifikan yang berdampak pada hak asasi manusia dan tatanan sosial.
Fungsi Hukum dalam Pemanfaatan Teknologi Kecerdasan Buatan
Bab mengenai Fungsi Hukum dalam Pemanfaatan Teknologi Kecerdasan Buatan menekankan peran hukum dalam legislasi, regulasi, akuntabilitas, dan perlindungan hak individu. Para ahli hukum seperti Frank Pasquale dan Ryan Calo menegaskan bahwa regulasi sangat penting untuk mengendalikan privasi, keputusan otomatis, dan perlindungan konsumen. Privasi dan keamanan data dipandang sebagai isu paling krusial, karena sistem AI sering memerlukan akses data pribadi yang rawan disalahgunakan.
Aspek lain yang dibahas adalah bias dan diskriminasi. AI dapat memproduksi keputusan yang tidak adil akibat data yang timpang atau algoritma yang cacat. Untuk itu, hukum berfungsi sebagai pagar agar sistem AI beroperasi secara adil dan inklusif. Audit algoritma, pengawasan independen, serta peraturan yang melarang diskriminasi menjadi instrumen hukum yang mendesak diterapkan. Selain itu, tanggung jawab hukum juga diarahkan pada pengembang dan pengguna sistem AI agar setiap keputusan otomatis tetap berada dalam kerangka akuntabilitas manusia.
Kesimpulan dan Relevansi Buku
Pada akhirnya, bab ini menekankan pentingnya legislasi teknologi sebagai fondasi keadilan sosial. AI yang berkembang tanpa pengaturan hukum dapat memunculkan ketidakpastian, kesenjangan sosial, dan bahkan ancaman terhadap keselamatan jiwa. Karena itu, hukum harus diposisikan sebagai instrumen untuk menjaga keseimbangan antara inovasi dan perlindungan manusia. Perhatian besar terhadap privasi, bias, diskriminasi, serta akuntabilitas menunjukkan bahwa buku ini bukan hanya deskriptif, tetapi juga normatif dalam menuntun pembaca pada urgensi hukum digital di era AI.
Di balik kedalaman analisis ini, sosok Danrivanto Budhijanto memberi bobot intelektual kuat. Ia adalah pakar cyberlaw, hukum telekomunikasi, dan hukum ekonomi digital yang telah berkecimpung sejak 1999. Kariernya mencakup pengajar di Universitas Padjadjaran, Kepala Departemen Hukum TI dan Kekayaan Intelektual, arbiter di BANI, hingga staf khusus Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. Dengan reputasi tersebut, pembahasannya tentang hukum AI dan revisi UU ITE 2024 layak dijadikan rujukan utama dalam memahami arah kebijakan hukum Indonesia di era digital.
