Penurunan TBP oleh LPS dan Dampaknya pada Bunga Simpanan Bank
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terus melakukan penurunan Tingkat Bunga Penjaminan (TBP) untuk membantu mendorong stabilitas sistem keuangan. Meski demikian, langkah ini tidak secara langsung membuat bank bisa memangkas bunga simpanan secara bebas. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yang memengaruhi kebijakan bunga simpanan dari pihak perbankan.
Sejak Mei 2025 hingga September 2025, LPS telah menurunkan TBP sebanyak tiga kali berturut-turut. Total penurunan mencapai 75 basis poin (bps). TBP sendiri merupakan batas maksimum suku bunga simpanan agar produk tersebut dijamin oleh LPS. Untuk simpanan dalam rupiah, TBP saat ini berada di level 3,5%, sedangkan untuk simpanan dalam valuta asing (valas) berada di level 2%. Keputusan ini akan berlaku mulai 1 Oktober 2025 hingga 31 Januari 2026.
Plt. Ketua Dewan Komisioner LPS, Didik Madiyono, mengungkapkan bahwa saat ini bank bergantung pada simpanan di atas Rp 5 miliar yang terdiri dari BUMN maupun korporasi swasta. Menurutnya, mereka sedang wait and see dan memilih untuk memarkir uangnya di perbankan. Nasabah besar tersebut mendapatkan special rate yang lebih tinggi dari TBP yang ditetapkan oleh LPS. Hal ini menyebabkan suku bunga simpanan bank tidak bisa mengikuti TBP yang ditetapkan oleh LPS.
Meski begitu, Didik melihat bahwa suku bunga simpanan rupiah secara konsisten telah melanjutkan penurunan. Secara akumulasi, sejak Mei 2025, suku bunga simpanan rupiah telah turun sebesar 19 bps dan berada di level 3,37%. Faktor likuiditas perbankan yang memadai dan pengelolaan dana deposan besar berpotensi memengaruhi arah lanjutan penurunan suku bunga pasar.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menjelaskan bahwa TBP bukan lagi satu-satunya acuan biaya dana. Struktur simpanan yang semakin terkonsentrasi pada deposan besar mendorong bank untuk mempertahankan special rate dan membuat penurunan bunga simpanan jauh lebih lambat daripada penurunan suku bunga kebijakan.
Ini menjelaskan mengapa TBP beberapa kali turun tetapi cost of fund tetap tinggi. Artinya, kompetisi memerebutkan dana jumbo menjadi faktor penahan utama di luar TBP sebagai batas atas formal. Oleh karena itu, ia melihat tekanan turun pada suku bunga simpanan memang ada, tetapi kecepatannya ditentukan oleh strategi bank dalam merepriceing deposito lama, kebutuhan menjaga marjin bunga, dan seberapa agresif bank menormalisasi special rate untuk deposan jumbo.
Pengamat Perbankan, Moch. Amin Nurdin, mengatakan bahwa saat ini TBP seakan-akan hanya acuan saja untuk simpanan yang dijamin LPS. Namun, tidak semerta-merta bank bisa langsung menurunkan bunga simpanan. Alasannya sama yaitu karena ada special rate. “Jadi pertimbangan tapi tak utama,” ujar Amin.
Presiden Direktur CIMB Niaga, Lani Darmawan, pun mengamini bahwa TBP ini tak hanya satu-satunya acuan bagi bank untuk menurunkan bunga simpanan. Pasalnya, bank juga harus mempertimbangkan kondisi likuiditas masing-masing. Ia memastikan bahwa saat ini porsi dana murah dari CIMB Niaga yang terdiri dari tabungan dan giro mendominasi sekitar 68% hingga 69%. Artinya, likuiditas CIMB Niaga saat ini tidak terlalu tergantung dari special rate.
“Overall average biaya dana mahal karena likuiditas di market. Ini yang kami harapkan mulai milder,” tambahnya.