Penyakit Beri-Beri dan Peran Penting dalam Sejarah Kesehatan
Beri-beri adalah penyakit yang disebabkan oleh kekurangan vitamin B1 atau tiamin. Vitamin ini memiliki peran penting dalam tubuh, terutama dalam mengubah karbohidrat menjadi energi serta menjaga kesehatan saraf, otot, dan jantung. Kekurangan vitamin B1 dapat menyebabkan kerusakan organ secara bertahap dengan berbagai gejala yang bervariasi, mulai dari kelemahan fisik hingga gangguan serius pada sistem saraf dan jantung.
Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, beri-beri menjadi masalah kesehatan besar di Asia, terutama akibat konsumsi beras putih yang telah kehilangan kandungan vitamin B1 setelah dipoles. Meskipun kasusnya kini menurun karena peningkatan kesadaran akan gizi, beri-beri masih bisa menyerang kelompok tertentu seperti penderita gangguan pencernaan, orang dengan pola makan buruk, hingga individu yang mengonsumsi alkohol berlebihan.
Sejarah Penemuan Penyakit Beri-Beri
Salah satu penemuan penting dalam sejarah kedokteran dunia ternyata bermula dari tanah Hindia Belanda, kini Indonesia. Pada akhir abad ke-19, beri-beri menjadi ancaman serius bagi masyarakat. Gejalanya meliputi kelemahan otot, pembengkakan pada tubuh, gangguan saraf, hingga kematian. Ribuan orang, baik penduduk pribumi maupun tentara Belanda, terserang penyakit ini.
Pada masa itu, para dokter belum memahami penyebab beri-beri. Beberapa percaya bahwa penyakit ini menular, sementara yang lain menganggap faktor iklim tropis sebagai penyebab utamanya. Di tengah kebingungan tersebut, seorang dokter militer Belanda bernama Christiaan Eijkman dikirim ke Batavia untuk melakukan penelitian. Tugasnya adalah mencari tahu mengapa beri-beri merajalela dan bagaimana mencegahnya.
Eijkman memimpin laboratorium kedokteran di Batavia dan melakukan eksperimen menggunakan ayam sebagai hewan percobaan. Ayam-ayam itu diberi makan nasi putih giling, yang populer di kalangan penduduk kota saat itu. Hasilnya mengejutkan: ayam-ayam itu menjadi lemah, sulit berjalan, bahkan lumpuh, dengan gejala mirip dengan penderita beri-beri.
Namun ketika makanannya diganti dengan beras merah atau beras yang tidak digiling, kondisi ayam mulai membaik. Dari eksperimen ini, Eijkman menyimpulkan bahwa proses penggilingan beras menghilangkan zat penting yang melindungi tubuh dari penyakit. Ia menyebut zat tersebut sebagai “anti-beri-beri factor”, yang kemudian dikenal sebagai vitamin B1 atau tiamin.
Kontribusi Lain dalam Penemuan Vitamin B1
Penemuan Eijkman tidak berdiri sendiri. Beberapa tahun kemudian, Adolphe Vorderman, seorang inspektur kesehatan di Jawa, melakukan penelitian besar terhadap ribuan narapidana. Ia mencatat makanan mereka sehari-hari dan membandingkannya dengan kesehatan fisik para tahanan. Hasilnya konsisten: mereka yang makan beras putih giling lebih rentan terkena beri-beri, sedangkan yang makan beras merah atau tidak digiling jarang sekali terkena penyakit tersebut. Bukti ini memperkuat kesimpulan bahwa pola makan adalah faktor utama dalam penyakit ini.
Temuan dari Batavia akhirnya menyebar ke Eropa. Pada 1929, Christiaan Eijkman dianugerahi Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran bersama Sir Frederick Hopkins dari Inggris, yang juga meneliti tentang vitamin. Nobel tersebut menjadi tanda lahirnya ilmu tentang vitamin, sebuah konsep baru yang mengubah cara dunia memahami gizi dan kesehatan.
Kisah yang Menginspirasi
Meski nama Eijkman diabadikan sebagai pemenang Nobel, banyak masyarakat pribumi di Jawa tetap menderita. Bagi mereka, beras putih giling adalah simbol kebersihan dan kemewahan, meskipun justru beras ini membuat mereka rentan terhadap beri-beri. Lapisan kulit beras yang dibuang dalam proses penggilingan ternyata menyimpan zat penting, tetapi pengetahuan ini baru dipahami setelah bertahun-tahun penderitaan.
Kisah Eijkman juga menunjukkan bahwa Indonesia memiliki peran penting dalam sejarah Nobel, meski secara tidak langsung. Penelitian yang dimulai dari ayam-ayam di laboratorium kecil di Batavia membuka jalan bagi pemahaman modern tentang peran nutrisi dalam mencegah penyakit.